Selasa, 09 Desember 2008

Perjalanan Menuju Kesejatian

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Setiap manusia dewasa tentu pernah merindukan sebuah pencerahan.
Apakah pencerahan itu dalam konteks spiritualitas, maupun dalam
kerangka pengembangan diri. Orang-orang yang mampu menjaga
kerinduannya akan pencerahan mempunyai kesempatan untuk secara
konsisten membawa dirinya menuju kepada kesejatian hidup. Yaitu;
menjadi manusia yang bisa mewujudkan tujuan atas penciptaannya.
Ngomong-ngomong; apakah sesungguhnya tujuan pencipataan kita ini?

Dimusim hujan seperti ini banyak laron beterbangan menjelang malam
tiba. Ketika mahluk sejenis ngengat itu sudah mencapai titik tertentu
dalam perkembangan siklus hidupnya, dia dianugerahi penciptanya
dengan sepasang sayap. Sayap itu memungkinkan dirinya untuk terbang
menuju suatu tempat yang jaraknya sering teramat jauh. Mereka keluar
dari tempat persembunyian disisa-sisa kayu dan pepohonan mati.
Kemudian terbang menuju satu titik yang pasti, yaitu; sumber cahaya.
Ditempat itu, mereka bertemu dengan laron-laron lainnya, sehingga
pertemuan itu bagaikan sebuah konferensi besar para pencari cahaya.

Adakah para laron itu ingin menyampaikan sebuah pesan? Kelihatannya
memang demikian. Melalui apa yang dilakukannya, para laron
mengingatkan kita betapa pentingnya menghadapkan diri kearah sumber
cahaya. Karena, menuju cahaya adalah sebuah fitrah bagi setiap
manusia. Didalam diri kita, ada sisi gelap. Dan ada pula sisi terang.
Jika kita tidak pernah menambahkan cahaya kedalamnya, maka sisi gelap
kita akan menjadi semakin banyak. Sedangkan, sisi terang akan semakin
berkurang. Untuk menjadi gelap; kita tinggal berdiam diri saja.
Karena cepat atau lambat dunia kita pasti menjadi gelap. Sedangkan
untuk mendapat terang, kita harus melakukan usaha-usaha yang sepadan.
Karena menanti dengan berdiam diri tidak memberikan jaminan datangnya
cahaya terang.

Bagi sang laron, menuju sumber cahaya adalah langkah paling akhir
misi hidupnya. Sedangkan bagi manusia, seberkas cahaya didalam
dirinya menyala melalui setiap perilakunya yang terpuji. Seperti
ketika mereka menghitung langkah satu, dua, tiga, dan empat; semuanya
berjalan membentuk sebuah untaian proses pencerahan jiwa. Kemudian,
tepat pada hitungannya yang kelima; mereka melakukan langkah terakhir
dalam hidupnya untuk menuju sang pemilik cahaya sesungguhnya.
Ditempat itulah kemudian mereka, berkumpul dengan para pencari cahaya
lainnya. Duduk bersimpuh disebuah lapangan luas, untuk mendekatkan
diri kepada sang pemilik cahaya sejati.

Setelah sampai disumber cahaya itu, tunailah sudah misi hidup seekor
laron. Dan setelah tiba disumber cahaya sejati itu; tunailah sudah
perjalanan panjang seorang manusia. Karena, ketika itu; kita bisa
menjelma menjadi manusia yang tercerahkan oleh cahaya kesejatian.
Seseorang yang berhasil melakukan perjalanan itu sesuai dengan
panggilan sang pemilik cahaya akan memasuki babak baru dalam siklus
hidupnya, yaitu; menjadi manusia sejati. Manusia yang memiliki
kematangannya secara spiritualitas, maupun fungsi sosial
kemasyarakatan. Sedangkan, mereka yang hanya matang secara spiritual,
tetapi tidak berfungsi secara sosial belum benar-benar mencapai
kesejatian itu. Sebaliknya, mereka yang secara fungsi sosial matang
tetapi melupakan kematangan spiritual adalah orang-orang yang hanya
bagus dimata sesama manusia. Namun, dihadapan Tuhannya; nilainya
layak dipertanyakan.

Bagi seekor laron, menuju cahaya adalah sebuah perjalanan sekali
seumur hidup. Oleh karena itu, seekor laron; mengerahkan semua yang
ada dialam dirinya untuk perjalanan suci itu. Dan ketika cahaya telah
memenuhi dirinya; dia menanggalkan sayap-sayapnya. Perlambang apakah
ini bagi kita? Sang laron tengah mengajari kita bahwa jika sudah
sampai kepada sumber cahaya, maka kita harus meneguhkan hati untuk
menutup segala kemungkinan yang bisa membawa kita kembali menuju
kegelapan.

Jika sayap itu masih dipeliharanya; maka cepat atau lambat, dia akan
tergoda untuk terbang menuju gelap. Dengan menanggalkannya, sang
laron menutup semua kemungkinan itu, supaya dia bisa memberikan
totalitas dirinya didalam terang itu. Meski untuk mendapatkannya, dia
harus mengorbankan sepasang sayap yang dimilikinya. Manusia tengah
diseru oleh sang laron, untuk juga melakukan pengorbanan yang sama.
Yaitu pengorbanan untuk membuang nafsu-nafsu yang sering menyeretnya
kepada sifat buruk. Dan menanggalkan sifat-sifat tak patut didalam
dirinya. Sehingga, ketika kita kembali pulang; kita benar-benar hanya
membawa cahaya putih lagi bersih. Sebersih jiwa seorang bayi yang
baru saja dilahirkan.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/

Catatan Kaki:
Keutuhan pribadi seseorang ditandai dengan kesediaannya untuk
membangun nilai dimata sesama melalui tindakannya, dan dimata
Tuhannya melalui kepasrahannya

Jumat, 05 Desember 2008

Kisah Mantan Preman yang Kini Pengelola Panti Asuhan

Tekad yang Tulus Untuk Tutupi Kesalahan
Laporan : Sofyan Ishak, Gorontalo Post





NYARIS seluruh tubuh dari pria paro baya ini dipenuhi dengan tatto, bisa
dibayangkan semasa muda kemarin betapa kerasnya pertarungan hidup yang dijalani
Darwin Umonti. Namun perilakuknya yang dikenal orang sebagai 'Preman', saat ini
berubah menjadi 180 derajat, dan bahkan dirinya lebih terkenal santun.

DENGAN agak hati-hati memang Gorontalo Post mencoba melakukan komunikasi
dengan pria yang telah memiliki delapan orang istri ini. Namun dengan
sikap santun dan luwes Darwin Umonti, melayani dengan sabar berbagai
pertanyaan yang dilontarkan wartawan koran ini.

Menurut Darwin, dirinya sudah menjalani profesi sebagai seorang 'preman' saat
dirinya hijrah ke daerah Bitung Sulawesi Utara. Bahkan ia sudah keluar masuk
buih banyak kali akibat sikap dan tindak tanduknya telah melanggar aturan
hukum. Pada tahun 2003, Darwin merasa agak tergugah hatinya, dan ingin
mengakhiri profesinya tersebut yang oleh banyak masyarakat dinilai buruk. "Saya
saat itu sedang di LP, dan bertepatan waktu puasa, tiba-tiba saat saya
bersimpuh di dalam mesjid LP, keinginan berubah begitu kuatnya membisik,"
tandasnya.

Darwin kala itu bercita-cita untuk kembali ke Gorontalo, dan memulai hidup
secara normal, bahkan ia memiliki obsesi mulia untuk membangun sebuah masjid
diatas rumahnya, tidak hanya itu saja rumahnya ingin dijadikan sebagai tempat
penampungan anak-anak yatim piatu. Allah SWT senantiasa membukakan jalan kepada
umatnya yang ingin bertobat, ketika kembali ke Gorontalo, Darwin mulai
merealisasikan keinginannya dengan bermodalkan uang yang disisihkannya waktu
masih berprofesi sebagai orang bayaran. "Saya pun kemudian memanggil semua anak
saya untuk mengutarakan keinginan ini, Alhamdulillah semuanya setuju, hingga
panti asuhan ini berdiri," paparnya.

Semenjak berdiri, hingga saat ini Panti Asuhan Darul Sa'Adah yang berada di
Kelurahan Huangobotu kecamatan Dungingi telah memiliki 46 orang anak, yang
dibagi kedalam 3 kelompok. "Dengan susah payah saya mengerahkan segala
kemampuan untuk bisa mengayomi seluruh anak, baik untuk kebutuhan makan dan
sekolahnya, tanpa ada campur tangan sama sekali dari pemerintah," tandasnya.

Bantuan dari pemerintah Kota Gorontalo memang pernah mengalir pada tahun
2004, namun setelah itu tidak ada lagi. Kini kegundahan menyelimuti benak
Darwin pasalnya ada 6 orang anak usia sekolah siap melanjutkan ke jenjang SMA,
namun ia mengaku sedikit kewalahan untuk membiayainya. "Namun saya yakin ketika
manusia berkehendak mulia, maka jalan Allah pasti akan terbuka, saya yakin dan
percaya dengan kuasa Illahi," ungkapnya dengan tenang.

Meski demikian Darwin berharap pemerintah khususnya dari dinas Sosial bisa
melirik keberadaan panti yang dikelolanya saat ini. Perjalanan hidup Darwin
memang sangat fenomenal, dan memang bisa menjadi tolok ukur kita bersama bahwa
disekeliling kita banyak orang yang membutuhkan bantuan.

Ketulusan hati seorang mantan Preman memang harus menjadi cemeti kita
bersama, jika mereka saja mampu, mengapa kita yang memiliki kelebihan dan citra
yang baik tidak mampu mengikuti jejaknya. (***)/gpinfo